Minggu, 15 April 2018

Lu-Luh Lan-Tak

Aku tak memahami diriku sendiri. Mencoba memberi kesempatan untukmu, namun aku beranjak pergi, berlari, meninggalkanmu sendiri.


Perasaan memang tak bisa dibohongi. Aku bisa saja bilang 'Aku biasa saja dengannya', namun hatiku merasa aman di dekatnya. Bodoh? Bukan bodoh, itu alami.

Dulu, aku yang paling mengelak. Aku percaya, aku akan baik-baik saja dengan keakraban seperti ini, aku pikir, hatiku akan menerimamu tanpa rasa berlebihan. Namun waktu mengubahnya. Semakin lama, kurasa semakin intim. 

Sebenarnya, aku lah yang mengawali. Bodohnya, aku tak menghenti. Aku mengira, aku akan baik-baik saja bersikap seperti ini, nyatanya hatiku menampik. IA MULAI BAHAGIA DI DEKATMU! Lantas siapa yang bertanggung jawab?

Perlahan, waktu mulai mengayun lamban. Setiap malam, sebelum tidur, suara paraumu menggema ke kuping kecilku. Ceritamu, lawakanmu, semua yang kamu lontarkan, mampu membuatku luluh. 

Aku merasa, aku baik-baik saja, nyatanya hatiku tak sedang seperti itu. Semakin lama, aku semakin merasa berdosa, dengan diriku sendiri, dengan dirimu lebih. Aku merasa menodai hati sucimu, yang telah kamu jaga seumur hidupmu. Sikapku mengacaukan heningnya hati sucimu, maafkan aku, telah membuatmu lantak.

Kamu tahu? Perasaanku selalu gelisah setiap jauh melihatmu. Dan perasaanku selalu gembira ketika bayangmu tampak di pelupuk mataku. Hatiku rapuh, saat aku tahu kamu menikmati waktu dengan yang lain, semacam iri? 

Kamu tahu? Aku menulis ini dengan perasaan campur aduk. Degup hati kencang, pikiran kacau, mata mulai sayu, aku menghancurkanmu.

Aku sempat berharap, kepada yang kuasa, memintamu untuk jadi pendamping tidur di setiap malamku, nanti. Aku pun meminta jikalau kedekatan kami, jangan disusun sekarang, nanti saja kalau sudah tampak takdir itu. Nyatanya, hatiku tak mampu. Ia menguasai, ia bodoh, membuat terbang lalu mematahkan sayapnya sendiri sampai jatuh tersungkur.

Aku meminta, supaya ada jarak di antara kami. Supaya kami bisa menjaga hati kami tetap suci, hening, untuk diberikan kepada pendamping kami nanti. Aku meminta, supaya hatiku selalu membatasi diri untuk tidak bersikap berlebihan terhadapmu. Aku meminta, berilah seseorang penghalang, supaya aku bisa sadar diri lalu bergerak mundur walau kamu mulai menyalakan lampu hijaumu.  Aku meminta, supaya aku dan kamu akan selalu berada dalam keadaan baik-baik saja.
Mungkin Tuhan langsung menjawab doaku. Dengan memberikan pedihnya harapan berlebihan mengenai seseorang, Dia menghadirkan sosok penghalang, yang benar-benar menendangku mundur. Kini aku harus bergerak, menjauhimu, demi kebaikanku dan kebaikanmu. 


Mungkin, Tuhan menyayangi kita, menjauhkan kita untuk sementara ini, supaya kelak mendapat kedekatan yang sah. 
Maafkan aku yang terlalu dini, mengharapkanmu untuk selalu ada di lubuk hatiku.