Minggu, 04 Februari 2018

Diakah sosok yang menggantikan?

Awal pertemuan kita, saat aku mendaftarkan diri dalam sebuah kepengurusan. Tidak ingat secara rinci sih, tapi aku ingat, kita satu ruangan. Kamu yang mengujiku saat itu. Beberapa pertanyaan terlontarkan oleh si penanya, dan aku menjawab asal-asalan, sok-sok meyakinkan mereka agar lolos, hehe, licik memang.

Ternyata hasil dari aku berbual itu, aku masuk ke dalam kepengurusan yang berhubungan dengan otak. HELL! Aku ikut ini karena ingin menambah pengalaman dan kenalan dengan dia, hehe!
Berat hati, aku menerima semuanya. Dan ternyata kini sudah hampir ku lalui 1 semester kepengurusan itu.

Harapanku untuk mengenalmu dalam kepengurusan, terpaksa kandas. Namun, ada seorang temanku. Si Penanya saat itu. Ia membawaku, mengenalmu.

Kamu, lelaki yang tinggi semapai, berhidung sangat lancip, manis, pandai dalam mengalunkan petikan gitar, suara yang meneduhkan, kesabaran dan kewibawaan yang menambah tingkat kharisma. Aduh! Kayaknya aku sudah jatuh terlalu jauh dalam jurang yang curam ini!!!

Kamu pandai, pandai mengolah kata, bukan menjadi manis nan romantis, namun manis dan tepat mengenai hati. Sikapmu masih sering ambigu. Terkadang baik, baik sekali, hingga aku terlalu berimajinasi jauh tinggi. Terkadang menjengkelkan, hingga aku malas bertemu denganmu, dan seperti merasa bersalah. Ya, merasa bersalah, pasti kamu menjengkelkan karena aku yang membuatmu jengkel. Aku selalu menjaga diriku, menahan diriku, melawan diriku (mungkin), agar aku tidak terlalu jauh jatuh dalam ilusiku. Aku menjaga diriku, agar selalu membuatmu bahagia, tanpa merasakan atau bahkan tau mengenai benih rasa ini. Aku akan diam, dan hatiku akan kupaksakan membisu.

Waktu demi waktu, aku semakin mengenalmu. Jauh dari bayanganku saat itu. Kamu mengenalku dengan baik. Aku cukup senang. Cukup saja. Aku takut terlalu berlebihan akan membuatku geram sendiri, menyesal sendiri, dan gundah sendiri.

Aku senang mendengarmu bersenandung, walaupun suaramu parau. Setiap malam, mungkin aku menyempatkan diri, dalam sunyinya malam di dalam sepinya kamar, mendengar alunan petikan gitarmu dan mendengarmu bernyanyi. Mungkin itu membuatku hanyut dalam ilusi, suaramu meneduhkan hatiku.

Saat kita (dan yang lainnya) pergi ke sebuah tempat, untuk having time. Atau saat aku menuju tempat berkuasamu bersama tiga teman perempuanku lainnya, aku merasa aku ingin disana terus. Walaupun mungkin kadang kamu sibuk sendiri, tak menggubris ku(atau kita) disana. Namun kamu baik. Baik sekali. Kamu selalu mau menuruti kita yang "ribet dan bersuara pas-pas an ini" untuk memainkan gitar demi mengiringi kita bernyanyi. Saat itu, terasa dunia seolah bersatu padu, menyelaraskan nada dan suara yang ah, intinya aku senang bila menghadapi saat-saat itu.

Kamu pun bijak, dalam berkata, bersikap, mengambil keputusan, selalu mampu menemukan solusinya. Kata-katamu, yang tersusun dalam satu atau berbait-bait sajak, mampu mengenyuhkanku. Seolah-olah hanyut dalam alunan kata yang kau susun. Meskipun terkadang, aku cemburu, karena kamu menulis sajak itu pasti untuk orang spesialmu! Ah tenang saja, hanya sebatas cemburu yang wajar, sedikit sekali!

Namun saat ini aku merasa kamu belum menemukan solusi agar aku tidak marah lagi pada teman-temanmu itu karena guyonannya. Namun semalam kamu sudah berupaya mengajakku berdamai, hanya saja, aku masih sakit, gelisah, masih kecewa, membutuhkan kesendirian, dan merenunginya sendiri. Jadi terpaksa kamu aku cuekin!

Perlahan aku sadar. Aku tidak bisa seperti ini. Kamu terlalu jauh bila harus berdamping denganku. Tubuh tinggi semampaimu tak pantas bersanding denganku yang mungil dan harus mendongak ke atas bila berjalan dengamu.

Kamu kalau balapan sama aku pasti menang loh. Tubuhmu tinggi semampai, aku pendek merengkuk. Hidungmu lancip ke depan, aku tumpul ke belakang. Suaramu parau namun masih tertutup alunan gitar yang syahdu, suaraku, seolah mengenyahkan dunia. Kamu keras dan tegas, aku lemah dan lembut. Kamu KS aku ST.

Intinya, disini aku sedang mengalahkan otakku untuk tidak terlalu hanyut dalam ilusiku ketika kita berdekatan. Aku sedang mengalahkan egoku agar tidak memaksamu membubuhi hatimu dengan rasa kepadaku. Aku sedang mengalahkan kesadaranku bahwa kamu terlalu jauh untuk kugapai, terlalu mustahil untuk kumiliki. Eh tapi aku punya Allah loh, siapa tau Dia berkehendak, eh tapi ga mungkin ya. Doamu kan lebih manjur dari aku, kamu sudah mendekati Allah sejak dulu, nah aku, baru beberapa waktu.

Semoga kamu adalah sosok yang menggantikan sosok lampau yang enyah.
Tapi tetap aku masih punya tugas, agar tidak terlalu hanyut dalam ilusi melodi jemarimu yang memetik senar kokoh nan romantis itu, senar itu. Beruntungnya kamu, nar.